Rindu dan Mimpi

Rindu dan Mimpi

Cuaca sedang cerah-cerahnya dibandingkan beberapa hari yang lalu. Inilah yang membuat seorang ibu di suatu desa merasa senang. Ia jadi leluasa pergi kemanapun untuk membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan anaknya. Ya, dua hari lagi anak perempuannya akan pergi meninggalkannya untuk menuntut ilmu di kota orang.

“Nak, jadi ikut ke Toko Budi ngga? Nanti kamu milih sendiri kopernya. Takutnya kalau ibu yang milih nanti kamu ngga suka sama modelnya.” tawar ibu kepadaku. Pakaiannya sudah sangat rapi bak priyayi. Aku yang masih rebahan menikmati detik-detik terakhir di rumah pun langsung mengiyakan.

“Sebentar bu, aku ganti pakaian dulu.” jawabku sambil berjalan cepat ke kamar. Lalu, setelahnya bingung mau memakai baju apa. Rasa-rasanya sebanyak apapun baju di lemari tetap saja kubilang tak punya baju.

“Udah belum? Sudah mulai siang ini nak.” tanya ibu dari luar pintu. Memang betul, sinar matahari sudah menerobos seluruh celah jendela kamarku. Merasa tak bisa berlama-lama akhirnya kupilih baju seadanya. Hijab army, baju putih, rok army. Kukira itu lumayan matching.

Kukeluarkan motor yang sedari kemarin mendekam. Tentu saja kupanasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk memboncengkan tuan putri ibu tercinta. Kulihat ia tengah duduk manis menungguku di teras rumah sambil sesekali menyapa tetangga yang lewat.

Setelah beberapa menit akhirnya kupanggil ia untuk segera menaiki motor yang akan kusupiri. Langkah kakinya anggun sekali. Ah, ibu. Beruntungnya aku dilahirkan oleh malaikat sebaik dirimu. Tak bisa kubayangkan dua hari lagi aku tak akan bisa melihat ibu sepanjang hari. Tapi mau bagaimana lagi. Aku pun pergi untuk mewujudkan mimpi. Dan membahagiakan bapak ibu, adalah daftar utama yang akan kuwujudkan tanpa tapi.

Sepanjang perjalanan kami berdua berbincang banyak perihal. Khususnya apa-apa terkait dengan nanti di tanah rantau. Laju motor pun kupelankan supaya ibu merasa nyaman. Kubiarkan motor silih berganti saling menyalip. Biarlah, mungkin saja memang mereka memiliki urusan yang sangat penting.

“Besok kalau kamu udah disana, rutin kabari bapak ibu ya. Belajar boleh semangat, tapi tetap jaga kesehatan. Jangan mudah terhasut hal-hal tidak baik, fokus sama mimpi-mimpimu yang setiap hari kau ucapkan pada ibu.” Lagi-lagi ibu memberi wejangan. Mungkin para orang tua di luar sana juga akan melakukan hal yang sama pada anaknya.

“Iya, bu. Rini in sya allah ingat semua pesan bapak ibu. Mohon doanya ya bu, semoga semuanya lancar.” jawabku.

Lampu merah di pertigaan mau tidak mau membuat laju motorku harus dihentikan. Siapa juga yang mau mencari gara-gara di tengah jalan yang penuh dengan keramaian ini? Bisa-bisa kena tilang, atau yang lebih lagi.. ditakdirkan untuk pulang ke pangkuan Tuhan.

Setelah menunggu beberapa saat, kulanjutkan perjalanan saat lampu mulai menghijau. Kali ini agak kupercepat karena hari mulai sangat terik. Sampai di Toko Budi, aku dan ibu segera memilih tas koper yang pas untuk dibawa. Ada beraneka ragam yang membuatku bingung memilih karena sama bagusnya.

Akhirnya pilihanku jatuh pada koper biru tua berukuran sedang. Kutanyakan pada ibu katanya dia juga suka. Tak menunggu lama-lama, dompet pun dikeluarkan, kuambil uang untuk membayarnya. Namun, saat uang kukasihkan kepada kasir, mereka menolak. Katanya gratis untukku. Yang benar saja?

Kutanya alasannya pun tak diberi tau. Meski sudah dipaksa untuk menerima, tetap ditolak. Ya sudah, aku dan ibu pulang saja setelah berterima kasih yang teramat dalam. Tak henti-hentinya kami pun bersyukur. Bagi kami keluarga yang sederhana, membeli koper ratusan ribu lumayan mahal. Tapi aku masih saja penarasan, apa yang sebenarnya terjadi? Ah, mungkin lagi give away random kali ya.

***

“Kayaknya udah lengkap semua nih pak.” jawabku saat ditanyai dari luar kamar. Bapak sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedangkan aku masih berkutat menata barang bawaan untuk lusa. Ibu, kulihat tadi sedang menghamparkan sajadahnya di kamar.

“Besok jangan lupa pamitan sama keluarga besar. Sekalian silaturahmi kan udah lama ngga ke rumah paman bibi.” kata bapak. Aku pun langsung mengiyakan. Seketika aku ingat kejadian tadi siang dan ingin menceritakannya pada bapak.

“Pak, tadi siang kan aku sama ibu beli koper di Toko Budi. Nah, pas mau bayar itu kata kasirnya gratis. Tapi ngga dikasih alasan apa apa. Menurut bapak gimana?” tanyaku.

“Alhamdulillah, berarti itu rezeki kamu nak. Kalau semisal kamu udah berusaha mau bayar tapi tetap ditolak ya ngga papa. Siapa tau mereka memang ingin merahasiakannya.” jawab bapak.

“Alhamdulillah ya pak. Ngga papa kan ya.” ucapku untuk memastikan.

Luput dari pandangan mataku, bapak tersenyum. Seolah ada sesuatu.

***

Kupandangi seluruh ruangan dalam kamar ini. Rasanya asing begitu menyeruak dalam hatiku. Ingin pergi dan mengikuti mobil hitam itu, tapi jiwaku melarangnya. Ada mimpi yang harus diperjuangkan disini.

Ruangan ini begitu pengap. Semuanya jadi satu dalam kamar. Kulihat selatan ada jendela, timur rak buku yang disampingnya ada juga rak peralatan makan, barat ada lemari, utara ada meja belajar.

Tadi pagi, tepat pukul 08:00 WIB kedua orang tuaku bersama paman dan bibi mengantarku ke tanah rantau. Banyaknya barang yang harus dibawa tidak memungkinkan untuk naik transportasi sendirian. Alhasil bapak dan ibu perlu merogoh saku untuk menyewa mobil.

Kini keluarga telah pergi. Mereka hilang di pandangan mataku. Jauh kembali ke tempat yang pasti akan kurindukan setiap hari.

***

Kulewati hari-hari melelahkan ini sendirian. Mau sakit mau sehat tetap diri sendiri yang bisa merehat. Keluarga jauh hanya bisa memberikan support terbaiknya. Pun mereka yang menjadi keluarga baru disini sebenarnya juga orang-orang baik.

Ada suatu masa di mana aku benar-benar rindu ingin pulang. Tugas menumpuk begitu banyaknya. Ada rasa ingin menyerah namun bayangan akan masa depan menghantuiku. Mimpi-mimpi yang begitu tinggi membuatku kembali ingat akan alasan kenapa memulai semua ini.

Nampaknya Tuhan sedang menguji keseriusanku dalam mencapai semua itu. Baiklah aku akan tetap bertahan meski rasanya perih ditahan, lara dijalani, tapi kuyakin Tuhan pasti akan menemani.

Dalam lamunan panjang ini, kulihat ada sebuah kertas terselip dalam koperku. Ternyata selama ini aku tak menyadari itu. Kuambil dengan penuh hati. Kertasnya cukup menarik, berwarna putih yang dihiasi garis-garis pink. Warna kesukaanku.

Setelah kubuka isinya, aku sangat terharu. Surat itu ditulis langsung oleh bapak. Aku hafal sekali setiap gores penanya. Kuhayati dengan begitu dalamnya hingga tak terasa air mata menetes di pipi.

Cilacap, 21 Juni 2021

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam rindu untuk anakku, Rini.

Meski saat ditulisnya surat ini kamu masih berada di rumah, tapi bapak yakin kamu akan membaca surat ini ketika bapak sedang rindu. Saat kamu berada nun jauh disana untuk mengejar cita-citamu. Tapi bapak tidak tahu, apakah kamu pun sebaliknya, merindukan bapak dan ibu? Mungkin saat ini kamu tengah berbahagia bersama teman-teman baru, lingkungan baru, atau apapun itu yang selalu membuatmu terkagum-kagum atas hal baru.

Kau tau? Bapak begitu khawatir tidak bisa menemanimu setiap hari. Maka dari itu bapak sengaja memberikan koper untuk menemani setiap langkahmu. Saat itu bapak mengikutimu dan ibu, membayarnya lalu pergi. Biar uang sakumu dari keluarga digunakan untuk bekal di perantauan, jangan digunakan untuk membeli koper.

 Bapak ingat sekali ceritamu ingin berkeliling Indonesia dan dunia. Semoga segera terwujud ya, nak. Bawa semua hal yang kamu mau dalam koper itu. Doa bapak dan ibu akan selalu mengiringimu.

                                                                        Dari seseorang yang kau sebut bapak

Tulisan singkat yang membuatku semakin merindu. Tulisan sederhana yang membuatku semakin semangat mengejar mimpiku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *