Merindukan Diriku

Merindukan Diri Sendiri

Hai, kamu. Siapapun yang membaca tulisan ini. Ini adalah aku. Seseorang yang merindukan diri sendiri.

Pada sore hari yang mendung, kubuka sebuah folder yang berisi beberapa tulisanku. Dua tahun lalu, satu tahun lalu, beberapa bulan yang lalu, dan beberapa hari yang lalu. Dilihatlah satu per satu. Didalami satu per satu. Hingga semua itu menimbulkan sebuah asumsi, bahwa tulisanku kini sudah sangat jauh dari identitas yang dulu.

Dahulu, segala hal kejadian dalam hidup bisa tertuang menjadi renungan yang dalam. Begitu nyaman hingga tak sadar seluruh ide telah tercatat. Tahu-tahu sudah beberapa menit berlalu. Tahu-tahu sudah beberapa halaman yang diisi tulisan.

Rasanya hatiku begitu bahagia. Bisa menulis begitu lepasnya. Bisa menulis dengan rasa dan hati sepenuhnya. Kala dibaca, ya, pasti berbeda. Ada emosi yang tak akan terganti. Ngga akan bisa ditemui pada karya yang lain.

Saat menuliskan ini saja, aku berjuang begitu kerasnya. Sulit sekali memulai apa yang sudah lama terhenti. Sulit menulis dengan hati kala jari terbiasa terbawa duniawi. Maksudku, menulis karena kebutuhan hidup. Dikejar tugas yang penuh dengan deadline.

Ada kalanya diriku begitu hampa saat menuangkan kata demi kata. Aku merasa bahwa tulisanku sedang tak bernyawa.

Seringkali aku bertanya, sebenarnya aku cocoknya nulis apa? Saat dipaksa nulis non fiksi bisa, fiksi juga bisa. Apalagi tulisan perenungan seperti ini, sangat bisa sih sebenarnya. Cuma kurang konsisten saja.

Saat menulis non fiksi, tentunya buat apalagi kalau bukan untuk memenuhi kebutuhan eksternal. Ada yang membutuhkan seorang penulis, why not tidak dicoba. Walau sudah kubiasakan, walau sudah kunyamankan, tetap saja ada yang menjadi ganjalan. Meski nulisnya dari hati, tetap saja ujungnya hati-hati. Ya karena tulisan itu tujuannya untuk komersil. Meski mengalir bagaimanapun, tetap saja susah dijelaskan rasanya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika diriku memutuskan menulis fiksi, butuh konsentrasi yang sangat tinggi. Butuh pikiran yang out of the box.

Saat menulis perenungan begini, kurasa ini yang paling nyaman. Bebas menuliskan isi hati dan pikiran. Hanya perlu sedikit editan supaya saat dibaca jadi nyaman.

Ya bisa disebut diary sih. Cuma, tidak semua ditulis secara gambling. Ada kalanya diubah bahasanya, isinya, sudut pandangnya, supaya ngga terlalu fokus sama diri sendiri.

Harapannya dari tulisan perenungan seperti ini, aku bisa memberi tahu dunia bahwa ini adalah masa-masa sulitku. Yang kuyakini adalah pasti aku tak sendiri.

Ada banyak orang yang merasa bimbang, resah, overthinking, dan perasaan negatif lainnya. Aku ingin kalian tahu bahwa kalian tidak sendiri.

Ada aku disini yang juga sama-sama berjuang untuk memahami diri sendiri hingga mencapai kesuksesan sejak dini.

Aku menulis ini ya sebagai bentuk penerimaan diri, menerima perasaan apapun yang sedang menghinggapi.

Suatu saat, ada keyakinan bahwa tulisan ini pasti berguna. Tulisan seperti ini ada ruang tersendiri dalam sejarah perjuanganku. Tidak akan ada kesia-siaan.

Semoga tulisan ini juga mengandung pelajaran yang bermanfaat ya. Sudahlah, aku tidak tahu harus menulis apa lagi.

Intinya aku merindukan diri sendiri. Tulisan tahun lalu yang begitu menyentuh hati kini raib entah kemana. Kini aku sedang berusaha untuk mengusahakannya kembali. Kalau tidak, rasa-rasanya aku akan tetap merasakan ada bagian yang hilang dalam diri. Dan aku tidak mau itu terjadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *