Anak Pertama

Jadi Anak Pertama, Begini Rasanya Diburu untuk Segera Sukses

Nampaknya semua bayi yang terlahir di muka bumi tidak bisa memilih kapan, dimana, dan urutan ke berapa saat akan tercatat di dalam kartu keluarga. Semua perjalanan hidup mengalir begitu saja sesuai kehendak Sang Pencipta. Tau-tau beranjak dewasa dan bersiap menghadapi realita hidup yang sesungguhnya.

Di setiap sudut belahan bumi ini, selalu ada anak pertama yang berdiam di sudut kamarnya. Mungkin selepas pulang sekolah, selepas tertawa bersama teman-temannya, maupun pulang dari lelahnya bekerja. Seringkali merenung tentang masa depan. Tentang bagaimana kehidupan karirnya, percintaan, hingga kondisi keluarganya.

Beban pundaknya terasa berat. Seolah ada ribuan ton yang harus dipikul. Seorang diri di dunia ini. Tanpa keluarga yang bisa dimintai tolong, takut dirasa menjadi beban. Ya, rasa ingin menunjukkan diri dan membahagiakan mereka dengan keringat sendiri. Tak dapat dielak jika menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung.

Memang keluarga tidak berbicara secara langsung. Namun, si anak pertama sadar diri bahwa ia harus segera menunjukkan bagaimana versi suksesnya. Apalagi melihat kenyataan bahwa ada adik yang akan menjadikannya panutan. Sungguh, situasi begitu rumit saat anak pertama lulus sekolah. Dunia yang sesungguhnya sudah berada di depan mata. Dan ternyata.. kacamata dunia semakin luas. Hingga mengetahui bahwa ada banyak sekali anak muda yang sudah sukses di luaran sana.

Hati anak pertama gelisah. Bingung harus memulai dari mana. Sebenarnya ia sudah menyadari potensi miliknya, hanya saja merasa di bawah orang lain. Hingga begitu banyaknya distraksi di era informasi membuatnya terombang ambing kesana kemari. Berkali-kali menelisik potensi diri, mengevaluasi tentang semua aktivitas yang dijalani, hingga ditemuilah benang merahnya.

Semakin ingin mencapai tujuan, maka action harus sejalan dengan impian. Entah bagaimanapun situasi dan kondisi yang dialami, komitmen terhadap tujuan awal sangatlah menentukan hasil akhirnya. Anak pertama menyadari ini. Karena ia paham alurnya, hanya saja eksekusinya yang belum habis-habisan.

Di malam yang sunyi, sebelum mata terlelap si anak pertama selalu saja memikirkan tentang kesuksesan. Entah bagaimana bisa ia begitu memikirkannya, sedangkan di luaran sana orang lain sudah memulai action yang nyata. Itulah, kenapa ia selalu merasa di buru-buru. Terlalu fokus di pencapaian orang lain hingga lupa diri sendiri juga harus memulai. Tapi dia yakin suatu hari nanti ia juga akan sampai pada tujuannya sendiri. Setelah meyakini itu, terlelaplah ia untuk terbangun dengan perjuangan lainnya di pagi hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *